Di kala terbitnya sang surya aku tulis cerita kisah cinta yang kurang tentu bisa di duga kebenaran dan jalan ceritanya. Cerita pertama yang aku buat ini, ku persembahkan kepada kedua orangtuaku yang jauh dari tempat yang kini aku perantauan ilmu sang batharayudha ini.
Sebut saja namaku primar yang tak perlu aku sebutkan nama asli diriku ini. pria gagah dan hati penyemangat tapi kurang di harta pikirku diri ini, tapi tak apalah karena itu takdir Tuhan yang tak akan bisa ditolak pada hari aku dilahirkan ke atas ciptaan Allah SWT yang tiada tara ini, bumi. Takdir?, aku ingin bertanya pada semua yang bisa menjawabnya. Apakah takdir itu pemegang kekuasaan untuk jalan hidup kita? Apakah dia diciptakan jauh-jauh hari pada sejuta tahun sebelum nabi adam diciptkan? Apakah takdir ditiupkan ketubuh kita seperti Allah SWT meniupkan ruh kita? Apakah takdir bisa mengubah atau diubah?.
Aku lahir dan tinggal di kota T dan sekarang msasih bersekolah di SMP Saroja kota T tempatku tinggal. Kegiatanku dirumah adalah bekerja menjadi buruh panen “benur” atau pembenihan udang untuk membantu kedua orangtuaku yang sedikit kekurang dibidang biaya sekolah dan kebutuhan rumah tangga yang semakin hari semakin mencekik leher sang buruh ini. Walaupun itu semua menjadi manis pahitnya hidup keluarga kami, kami selalu bersyukur atas semua yang diberikan oleh Allah SWT.
Disuatu pagi aku bersiap-siap untuk sekolah walaupun masih dalam keadaan bulu mata susah untuk diceraikan, karena baru selesai mengais uang di panen besarku tadi malam sampai pukul empat pagi aku jalani. Penghasilanku tadi malam lumayan besar daripada panen-panen yang sebelumnya. Mungkin karena panen pak Narko yang melimpah sampai-sampai kami yang sebagai buruhnya tidak ketinggalan terkena imbas dari panen akbarnya tadi malam. Setelah mandi aku lakukan aku cari-cari sosok kedua orangtuaku dan aku meminta doa restu kepada dua orang mulia yang telah bersedia mengorbankan perasaan dan waktu dihidupnya ini untuk mengurus diriku yang penuh akan dosa ini. Aku mencium tangan mereka sebagai tanda hormat dan sayangku kepada beliau. Setelah selesai aku meminta restu kepada mereka untuk berangkat ke sekolah seperti yang biasa aku lakukan, ibuku berkata:
“Hai anakku?”
“iya bunda” balasku dengan muka tertengadah melihat mata ibuku yang kuyu karena memikirkan bagaimanakah masa depan anaknya yang tak kurang berbeda dari dirinya dulu.
“jadilah anak yang menaati panca cekelan (lima pegangan) nenek moyang kita” ujarnya dengan mengelus kepalaku, dengan aku yang sedang dibawahnya meminta doa.
“sahaya bunda, apakah itu semua yang bunda maksudkan?”jawabku pelan.
“Utek, awak, tutur, wadon, lan wibowo pemimpin sing apik (otak/pikiran, badan, omongan/tutur kata, perempuan, dan wibawa pemimpin yang baik).”Katanya lembut tanpa duri.
“kiranya bunda sedikit bisa jelaskan kepada anakmu ini bunda?”
“utek, yang pertama adalah pikiran, tentu saja pikiran jernih, sejernih hati kanjeng nabi Muhammad SAW yang telah di bersihkan oleh malaikat jibril dari nafsu dan dosa yang telah diperbuatnya. Jernihnya pikiran dapat menelan ilmu yang sebesar gunung himalaya dan sedalam cinta Chairil Anwar pada Indonesia. Inilah salah satu harta berharaga milik manusia yang membedakannya dengan kawula Allah yang lain. Pikiran tiada batasnya bila di bandingkan dengan anggota badan kita yang lain. Jadi pakailah otakmu yang tak terbatas itu sebagai peganganmu nak.”
“sahaya bunda, dan yang kedua bunda?” Jawabku dengan sabar berharap kelas yang akan dimulai satu jam lagi tidak habis dengan wejangan-wejangan bundaku ini.
“sabarlah anakku,kamu akan mendengarnya bila umur bundamu ini masih panjang. pergilah kau untuk memakai pikiranmu menimba ilmu dari guru-gurumu didunia ini.”
“sahaya bunda, ayahanda, ananda berangkat sekolah dulu.” Setelah aku berpamitan dengan kedua orang tuaku, aku memanggil adikku yang sedang asyik bermain di ruangan tengah.
“anas!”
“iya kak!”
“ ini uang sakumu.” Dia datang dengan senyuman gembira mengulurkan tangannya untuk mendapat sebagian ung yang aku dapatkan semalam.
“terimakasih kak”. Ucapnya dengan polos sang anak yang masih duduk di taman kanak-kanak ini.
“belajar yang baik ya disekolah.” Ujarku dengan mengelus rambutnya yang lembut.
“iya kakak.”
Aku pun menuju sepeda tuaku dan sedikit melirik ibu bapakku yang tersenyum karena
melihat kedekatan kedua anaknya.
“Assalamualikum!” teriakku sambil melambaikan tangan kepada mereka.
“walaikum salam!” serentak jawaban terdengar lewat hembusan angin saat sepedaku belok dari gang rumahku.
Dijalan yang ramai akan kendaraan bermotor pagi itu aku berpikir atas panca cekelan yang di wejangankan bunda kepadaku tadi. Baru satu pegangan yang dia kasih kepadaku dan yang lainnya membuat ku tak sabar mengetahui dan setelah beberapa tahun menunggunya ternyata aku tak pernah mendengar terusan pegangan nenek moyangku itu. Sampai suatu ketika ibuku berkata begini.
“nak, bila kau ingin mendapatkan semua panca cekelan nenek moyang itu carilah jawabannya dihatimu sendiri. Karena hanya itu cara nenek moyang kita mencari panca cekelan itu.”
“baiklah bunda, aku akan mencarinya sendiri sampai semua itu bisa ku hayati pengamalannya,” jawabku dengan setengah berjanji dengan bunda.
Tak diduga-duga, ternyata ibuku meninggal di malam selah memberitahukan aku tentang itu. Dan aku buat itu sebagai wasiat beliau yang terakhir padaku, anakknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar